indate,net-Pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menggulirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran mencapai Rp71 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini belum termasuk kemungkinan dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta pihak ketiga. Di atas kertas, program ini bertujuan mulia: meningkatkan kualitas gizi masyarakat, khususnya anak-anak usia sekolah.
Namun, di tengah tantangan ekonomi dan kebutuhan pembangunan lintas sektor, kebijakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah program ini tepat sasaran? Apakah dampaknya sepadan dengan biaya yang dikeluarkan? Dan yang tak kalah penting: Apakah ada sektor lain yang justru dikorbankan?
Salah satu sektor yang merasakan dampaknya adalah pariwisata dan perhotelan. Di beberapa daerah, termasuk Kota Bogor, efisiensi anggaran yang dilakukan untuk mendukung program MBG membuat sejumlah agenda promosi wisata dan pelatihan SDM harus dikurangi bahkan dibatalkan. Padahal, sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi lokal yang menyerap banyak tenaga kerja.
Tak hanya itu, instansi-instansi pemerintah juga mengalami pemotongan anggaran operasional dan kegiatan publik, yang disebut sebagai langkah efisiensi. Ironisnya, efisiensi ini justru muncul ketika negara memiliki ruang fiskal yang digunakan untuk program dengan efektivitas jangka pendek.
Sebagai warga yang peduli terhadap arah pembangunan bangsa, saya menilai bahwa alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun seharusnya diprioritaskan untuk sektor pendidikan. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga menciptakan generasi yang mampu membawa Indonesia ke masa depan yang lebih baik. Pendidikan gratis dan berkualitas akan memberikan efek sistemik terhadap kesejahteraan dan kemajuan bangsa—lebih dari sekadar program makan yang berdampak sesaat.
Tentu, meningkatkan gizi anak-anak adalah hal penting. Namun, pendekatannya perlu tepat sasaran dan efisien. Jangan sampai program ini hanya menjadi proyek besar dengan manfaat yang tidak sebanding dengan besarnya anggaran, atau malah menjadi celah bagi praktik-praktik transaksional yang merugikan publik.
Pemerintah perlu menggandeng akademisi, lembaga riset, dan masyarakat sipil untuk mengkaji kembali kebijakan ini secara terbuka. Dalam situasi di mana setiap rupiah anggaran begitu berarti, kebijakan populis sebaiknya tidak menggantikan kebijakan strategis.(JM)