Oleh: Jamaluddin Al-Afghani
Fenomena apartemen mangkrak yang terjadi di Kota Bogor semestinya tidak dianggap sebagai masalah biasa yang bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini bukan semata soal proyek yang tertunda atau gagal finansial. Ini adalah soal keadilan, tanggung jawab, dan keberpihakan terhadap masyarakat yang sudah dirugikan.
Puluhan bahkan ratusan konsumen telah menyerahkan dana mereka untuk sebuah unit apartemen yang tak kunjung berdiri. Mereka bukan investor besar yang bisa mengalihkan kerugian ke tempat lain, melainkan masyarakat umum yang menaruh harapan akan tempat tinggal layak melalui skema pembelian yang sah. Lalu ketika bangunan tak kunjung rampung, siapa yang melindungi mereka?
Di sinilah terlihat betapa lemahnya penegakan hukum kita terhadap pengembang nakal. Regulasi yang ada seakan memberi kelonggaran besar bagi pelaku usaha, namun minim perlindungan terhadap konsumen. Celah ini makin menganga ketika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun memperbolehkan pemasaran unit sebelum pembangunan dimulai. Praktik yang satu ini, menurut Didi, menjadi "pintu masuk kekisruhan".
Ketentuan ini memang secara legal dibenarkan, namun dalam praktiknya telah menciptakan jebakan sistematis. Banyak pengembang hanya mengandalkan brosur dan maket, tanpa kejelasan progres fisik bangunan. Konsumen ibarat membeli “kucing dalam karung”. Kondisi semacam ini sungguh tak pantas dibiarkan dalam sistem hukum negara yang mengaku menjunjung tinggi perlindungan konsumen.
Sudah saatnya kita mendorong perubahan regulasi. Pemasaran unit apartemen seharusnya hanya diperbolehkan setelah proyek mencapai kemajuan pembangunan yang signifikan atau bahkan selesai sepenuhnya. Sebagaimana sektor perhotelan atau resort, bangunan dibangun terlebih dahulu sebelum dijual atau disewakan. Kenapa apartemen tidak bisa demikian?
Negara pun perlu tegas. Apartemen yang sudah terbengkalai selama bertahun-tahun semestinya dapat diambil alih. Asetnya dikembalikan ke negara atau digunakan kembali untuk kepentingan publik, agar tidak menjadi sumber kekacauan tata ruang kota.
Selain itu, perlu ada sanksi yang lebih keras dan progresif: baik pidana maupun perdata bagi pengembang yang lalai. Penegakan hukum tidak boleh hanya berani pada masyarakat kecil, namun justru lunak kepada korporasi besar. Keberanian negara diuji justru dalam perlindungan kepada mereka yang lemah.
Opini ini bukan hendak menyudutkan seluruh pelaku pembangunan apartemen. Ada banyak pengembang yang bertanggung jawab dan bekerja profesional. Namun yang buruk harus disoroti, agar tidak menjadi preseden yang merusak iklim investasi dan kepercayaan publik.
Kita tentu sepakat bahwa konsumen bukan sekadar angka. Mereka adalah warga negara yang punya hak untuk dilindungi dari praktik bisnis yang merugikan. Negara, melalui perangkat hukumnya, harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, tapi juga sebagai penjaga keadilan sosial.
Jika hukum tidak berpihak kepada mereka yang lemah, kepada siapa lagi kita berharap?(*)