indate.net-Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menghapus pelaksanaan wisuda sekolah dari tingkat PAUD hingga SMA, memicu perdebatan publik. Sejak dilantik sebagai gubernur pada 20 Februari 2025, sejumlah kebijakan Kang Dedi Mulyadi (KDM) mendapat sorotan, termasuk keputusan kontroversial tersebut. Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga penolakan.
Asal-Usul Tradisi Wisuda
Berdasarkan informasi dari detik.com, wisuda merupakan tradisi akademik yang berakar dari Eropa abad ke-12. Istilah "graduate" berasal dari bahasa Latin gradus, yang berarti "langkah", merujuk pada kemajuan jenjang pendidikan. Tradisi mengenakan toga juga berakar dari universitas seperti Oxford dan Cambridge, sebagai simbol akademik yang erat kaitannya dengan lembaga keagamaan saat itu. Tradisi ini kemudian menyebar ke universitas-universitas di Amerika Serikat dan menjadi bagian dari seremoni kelulusan.
Wisuda di Sekolah Indonesia
Di Indonesia, konsep wisuda mulai populer di lingkungan sekolah sejak awal 2010-an. Fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor: globalisasi informasi melalui media massa dan internet, keinginan pihak sekolah untuk memberi kesan mendalam bagi siswa yang lulus, serta kehadiran penyedia jasa (Event Organizer) yang menawarkan paket wisuda lengkap.
Wisuda di jenjang sekolah umumnya meniru seremoni kelulusan universitas, lengkap dengan penggunaan toga, make-up profesional, dan sesi foto resmi. Namun, hal ini menimbulkan perdebatan terkait urgensi dan relevansinya dengan prinsip pendidikan dasar.
Antara Perpisahan dan Wisuda: Perspektif Pendidikan
Beberapa kalangan menilai bahwa momen perpisahan atau pelepasan siswa tetap memiliki nilai penting secara sosial dan emosional. Berdasarkan pengamatan dan opini masyarakat pendidikan, perpisahan memiliki fungsi antara lain:
Menjadi penutup perjalanan pendidikan siswa, yang menyimpan nilai kenangan dan pengalaman emosional. Momen apresiasi prestasi siswa, baik akademik maupun non-akademik. Ajang penghargaan bagi guru dan orang tua, atas kontribusi dalam proses belajar mengajar.
Wadah pengembangan bakat dan kepercayaan diri siswa, melalui penampilan di hadapan publik. Sarana silaturahmi dan penguatan hubungan antara sekolah dan wali murid. Namun, penting untuk dicatat bahwa kegiatan perpisahan kerap disalahartikan dan dijalankan secara berlebihan. Kritik terutama ditujukan pada:
Penerapan konsep wisuda perguruan tinggi di jenjang dasar, yang dianggap tidak sesuai secara akademis dan simbolis. Pembiayaan yang tinggi, akibat penyelenggaraan yang mewah dan tidak efisien, yang berpotensi membebani wali murid.
Kesimpulan dan Rekomendasi Etis
Media ini menilai bahwa kegiatan perpisahan sekolah tetap memiliki nilai edukatif dan sosial, selama diselenggarakan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk peserta didik yang beriman, berakhlak, berilmu, mandiri, dan bertanggung jawab.
Kami menekankan bahwa:
Pelaksanaan perpisahan hendaknya tidak meniru format wisuda perguruan tinggi, agar tidak terjadi bias simbolik dan kesalahpahaman nilai akademik.
Kegiatan harus diselenggarakan secara sederhana, inklusif, dan terjangkau, untuk menghindari praktik komersialisasi pendidikan.
Sekolah dan orang tua harus berkomunikasi secara terbuka, guna memastikan acara berjalan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat.(*)